teori gangne dalam hirarki pembelajaran matematika ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

teori gangne dalam hirarki pembelajaran matematika

A. Pendahuluan


1.      Latar Belakang
Pencapaian tujuan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, sangat ditentukan oleh pengelolaan proses belajar. Oleh karena itu kegiatan belajar mengajar perlu dikelola sebaik mungkin supaya tercapai tujuan pendidikan. Proses pembelajaran matematika di sekolah dipengaruhi banyak fakto antara lain: siswa, metode, guru, sarana dan prasarana serta penilaian. Guru dinilai  paling bertanggung jawab dalam kegiatan  proses belajar mengajar. Dalam pelaksanaan belajar mengajar guru bertugas memotivasi, membimbing dan member fasilitas belajar kepada siswanya dalam pencapayan tujuan pengajaran yang direncanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut tentunya guru mempunyai strategi tertentu agar pelaksanaan belajar dengan baik dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Bahkan banyak teori dari para ahli yang diterapkan guru dalam proses pembelajaran.
Banyak sekali teori belajar yang dikemukakan oleh  ahli-ahli teori  belajar. ada tulisan menarik yang dikemukakan Bell (1978:97)  berikut: “ Understanding of theories about how people lean and the ability to apply these  theories  in teaching”. Apa yang dikemukakan Bell di atas, menunjukan kepada para guru akan pentingnya  pemahaman teori-teori yang  berkaitan dengan bagaimana para siswa belajar dan bagaiman mengaplikasikan teori tersebut dikelasnya masing-masing, Rober M, Gagne adalah salah seorang ahli teori belajar yang namanya dapat di sejajarkan  dengan nama-nama besar dan terkenal lain di jamannya seperti Bruner, Skinner, S.Vygotsky dan lain-lain.

            Para ahli yang disebut tadi, telah mengkaji perkembangan intelektual dan mempelajari hakekat belajar dan berbagai segi sehingga bisa saja terjadi kemiripan atau kesamaan  antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, saling melengkapi dan tidak menutup kemungkinan akan ada dua teori yang sepertinya saling bertentangan. Karena tiap-tiap memiliki keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri, maka hal yang paling pentig yang perluh diperhatikan para guru seperti yang disarankan Bell tadi adalah para guru hendaknya dapat menggunakan dengan tepat keunggulan setiap teori tersebut dikelasnya masing-masing.
Tulisan ini akan membahas salah satu aspek penting dari teori yang dikemukakan Gagne yang patut diketahui dan dipahami para guru, khusunya para guru matematika, yaitu  suatu teori yang disebut dengan hirari belajar. Dengan menglatar belakangi tulisan di atas kami menyusun makalah  ini dengan judul “Hirarki Belajar Matematika”.

B.     Pembahasan
1.      Pengertian Hirarki Belajar Matematika
Seringkali para guru matematika menyampaikan kepada muridnya bahwa belajara matematika seyogyanya kita menjejaki tangga, dimana tangga pertama dapat memudahkan kita menginjak tangga kedua begitu juga tangga kedua memudahkan kita melangkah ketanga ketiga dan tangga-tangga seterusnya. Pada dasarnya pengetahuan yang lebih sederhana harus dikuasai para siswa terlebih dahulu dengan baik agar ia dapat dengan mudah mempelajari pengetahuan yang lebih rumit. Pertanyaan yang sering muncul mengapa pengetahuan harus dimulai dari yang sederhana dulu.? Perntanyaan tersebut akan dijawab dengan pembahasan berikut ini.
Materi pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun merupakan pengetahuan yang saling berkaitan antara pengetahuan yang satu dengan pengetahuan lainnya. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2”  menunjukan pada banyaknya sesuatu yang berpasangan seperti banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau malah “enam”. Kesalahan sepele seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh.
Gagne memberikan alasan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan pertanyaan ini. “pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil mempelajari suatu pengetahuan tertentu?”. Setelah mendapat jawabanya, ia harus bertanya lagi seperti pertanyaan yang di atas  tadi untuk mendapat prasarat yang harus dikuasai dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai didapatkan urutan-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai kompleks. Dengan cara seperti itulah kita memperoleh hirarki belajar.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa untuk dapat menguasai materi Matematika, seorang anak harus menguasai beberapa kemampuan dasar lebih dahulu. Setelah itu, si anak harus  mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya. Karenanya, Ausubel menyatakan hal  berikut sebagaimana dikutip Orton  (1987:34): “If I had to reduce all of educational psychology to just one principle, I would say this: The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran.
Gagne (dalam Murtado, 1987;37)  mengatakan bahwa belajar adalah perubahan yang dapat di amati dari tingkah laku orang, dan hirarki belajar terdiri dari kemampuan-kemampuan yang dapat diamati atau diukur. Artinya belajar adalah suatu hal yang dapat diukur berdasarkan tingkah laku yang di amati berdasarkan tingkaan-tingkatannya.
2.             Contoh Pemanfaatan Hirarki Belajar
Pada suatu hari, seorang teman guru matematika yang sudah mengajar beberapa tahun di SMP mengeluh tentang sebagian besar siswa yang tetap tidak bias atau  belum mampuh untuk memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar seperti: x2-2x-35 menjadi (x-7)(x+5): x2-6x +8 menjadi (x-4)(x-2). Padahal, menurut guru tersebut, ia sudah berulang-ulang menjelaskan dengan berbagai cara; namun tetap saja siswanya tidak dapat memfaktorkan beberapa soal baru  yang angkanya berbeda dari yang dicontohkannya. Yang menjadi pertanyaan mengapa hal seperti itu dapat terjadi? Jika hal ini  terjadi kita dapat beranjak dari pertanyaan awal yang dapat diajukan sebagaiman disarankan Gagne adalah: pengetahuan yang lebih dahulu harus dikuasai siswa  agar ia berhasil memfaktorkan? Jawabannya: di saat memfaktorkan bentuk seperti x2-2x-35dimana -2 disebut koeffisien x dan -35 disebut konstanta, sebagaiman para siswa harus mencari dua bilangan yang dicari tersebut adalah -7  dan +5, karena -7 + (+5) = -2 dan (-7) × (5) =-35. Ketika ditanyakan kepada guru tersebut tentang kemampuan siswanya untuk menjumlahkan dan mengalikan dua bilangan bulat, sang guru menyatakan bahwa para siswanya sering mengalami kesulitan dengan dua tugas tersebut. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah kalau mereka tidak dapat menentukan dua bilangan bulat yang jumlah dan hasil kalinya sudah tertentu, bagaimana mungkin mereka akan mampu memfaktorkan bentuk-bentuk aljabar?.  Sehingga dapat disimpulkan para siswa tersebut harus di bmbing kembali dalam belajar penjumlahan dan perkalin hingga lancar.

Contoh Hirarki  Belajar
Dari cerita di atas, dapatlah disusun suatu hirarki tentang memfaktorkan bentuk aljabar seperti di tunjukan pada gambar 1 di bawah ini. Bapak dan ibu gurudapat saja menyempurnakan hirarki belajar ini berdasar pengalman dilapangan. Dari gambar 1 terlihat jelas bahwa pengetahuan atau keterampilan memfaktorkan yang telah ditetapkan menjadi salah satu tujuan pembelajaran khusus harus diletakkan dipuncak dari hirarki belajar tersebut, diikuti dibawahnya, ketrampilan atau pengetahuan prasyarat (prerquisite) yang harus dikuasi lebih dahulu agar para siswa berhasil mempelajari  ketrampilan atau pengetahuan di atasnya itu. Begitu seterusnya sehingga didapatkan hirarki belajar tersebut.
Hal paling penting yang perlu mendapat perhatian serius para guru matematika adalah  bersifat hirarkisnya mata pelajaran matematika. Tidaklah mungkin seorang siswa mempelajari suatu materi tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyarat yang  cukup. Hal tersebut berlaku dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan tingkat  perguruan tinggi. Seorang siswa SD yang bari belajar menjumlahkan dua bilangan antara  1 sampai 5 harus memiliki pengetahuan prasyarat awal seperti dapat menulis dan membilang angka 1 sampai 5 secara berurutan. Di samping itu, ia harus menentukan banyaknya suatu kelompok benda dengan tepat.



      Gambar 1 Contoh Hirarki Belajar


                                                Memfaktorkan Bentuk x2 + Cx + D


   Menjabarkan Bentuk                                                                   Menentukan Dua Bilangan Bulat Yang
  Seperti (X + A) (X + B)                                                              Jumlah Dan Hasil Kalinya Tertentu




Menentukan Faktor-Faktor
Suatu Bilangan Bulat




Menentukan Hasil Kali Dua                                                                 Menentukan Jumlah Dua
Bilangan Bulat                                                                                    Bilangan Bulat




                                                            

  
         Menurut  seorang guru SD, sering terjadi seorang anak, ketika membilang dengan benda kongkret,  ia mengucapkan “empat” padahal jarinya  menunjukan benda kelima. Di tingkat perguruan tinggi, seorang mahasiswa tidak akan mungkin mempelajari integral rangkap tiga jiga ia tidak memiliki bekal yang cukup tentang integral biasa.  Tentunya hal yang sama akan terjadi di bangku SMP. Disamping itu, matematika sudah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit. Pendapat seperti ini harus dikikis sedikit demi sedikit oleh setiap guru matematika. Karenanya, perlu bagi penulis untuk mengingatkan para guru matematika bahwa disat menemui para siswa yang mengalami kesulitan atau melakukan kesalahan, cobalah untuk berpikir jerni dalam menetapkan penyebab kesulitan maupun kesalahan siswa tersebut dan dapat menggunakan teori tentang hirarki belajar ini sebagai salah satu alat pentingnya. Sekali lagi, seorang siswa tidak akan dapat mempelajari atau menyelesaikan tugas tertentu jika mereka tidak memiliki pengetahuan prasyaratnya. Karena itu, untuk memudahkan para siswa selama proses pembelajaran di kelas, proses tersebut harus dimulai dengan member kemudahan bagi para siswa dengan mengecek, mengingatkan kembali, dan memperbaiki pengetahuan-pengetahuan prasyaratnya. Sebagai penutup, penulis ingin menyatakan bahwa tugas guru matematika memanglah berat, namun sangat mulia dan akan sangat menentukan kemajuan bangsa ini di masa  yang akan datang.

C.    Penutup
         Bagi sebagian siswa, Matematika telah dikenal sebagai mata pelajaran yang sulit Sebagian siswa ada yang menganggap dirinya tidak berbakat mempelajari matematika. Hal penting yang perlu mendapat perhatian serius adalah bersifat hirarkisnya matematika. Seorang siswa SMP sekalipun akan mengalami kesulitan melakukan operasi pembagian jika ia tidak menguasai dengan baik operasi perkalian. David P Ausubel menggagas tentang perbedaan belajar hafalan (rote learning) yang tidak akan bermakna (meaningless) bagi para siswa. Belajar hafalan akan terjadi jika para siswa tidak mampu mengaitkan pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics. Lowa:WBC
Gagne, R.M. (1983). Some Issues in the Psychology of Mathematics Instruction. Journal
            for Research in Mathematics Education. 14 (1)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More