Biografi Sa’ad bin Abi Waqqash ra. ~ Putra Gantiwarno
Selamat datang, terima kasih atas kunjungannya. Salam perdamaian

Biografi Sa’ad bin Abi Waqqash ra.

Sa’ad merupakan salah satu dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga. Dalam biografi dan Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ra. banyak diceritakan bahwa ia merupakan pekerja keras dan senang bekerja sebagai pembuat panah. Di samping itu ia juga orang yang pandai mengendarai kuda. Itulah sebabnya, walau ibunya memintanya meninggalkan pekerjaannya, ia tetap bersikukuh untuk terus menggeluti pekerjaannya tersebut karena ia senang kalau tokonya didatangi oleh teman-temannya yang juga mahir mengendarai kuda.
Ibnya bernama Hamnah binti Sufyan bin Abi Umayyah. Dalam sejarah disebutkan bahwa ibnya adalah orang yang sangat taat menyembah berhala. Dan ketika Saad masuk Islam, ia berkali-kali memaksanya kembali ke agama nenek moyangnya, dan karena tidak mau, akhirnya ibnunya bersikeras tidak akan makan sampai Saad meninggalkan Islam, namun sayang usahanya tidak berhasil.

Biografi dan Kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ra

Perjalan hidup dari sahabat nabi sekligus paman Nabi yang mulia ini akan dikisahkan dengan lengkap berdasarkan literatur dari kitab yang telah diterjemahkan. Mulai dari masa mudanya hingga menjadi seorang gubernur di Kufah dan wafat dengan dikafani jubah bulu kenangannya saat perang Badar.

Sa’ad akhirnya beriman setelah bermimpi tentang sahabatnya

Waktu itu Saad bin Abi Waqqash merasa letih sekali setelah seharian penuh bekerja membuat panah di tokonya. Dan karena sudah malam dan lengan serta bahunya terasa penat, akhirnya ia berusaha membaringkan diri untuk tidur. Namun, setelah hampir sejam ia belum juga bisa tidur, tapi ia terus berusaha menutup matanya dan akhirnya tertidur juga.
Dalam tidurnya belia bermimpi merasakan seakan-akan matahari dunia ini telah tertutup dan seluru dunia tampak gelap gulita dan tanpa cahaya sama sekali. Malam hari pun demikian, terasa sangat gelap sekali. Lanjut cerita, dalam mimpinya tersebut ia merasa susah sekali, ia bahkan merasa tersiksa dengan keadaan tersebut dan bahkan terasa hendak melepaskan nyawanya. Dadanya juga ia rasakan sempit layaknya orang yang naik ke langit yang merasa sesak karena kurangnya udara.
Kejadian dalam mimpinya tersebut ternyata tak berlangsung lama. Setelah beberapa saat akhirnya kegelapan hilang, digantikan oleh cahaya yang terang benderang. Cuaca yang tampak hitam kelam akhirnya sirna dan seluru penjuru pun, termasuk rumah-rumah dan perbukitan akhirnya menjadi terang kembali.
Bersamaan dengan keadaan tersebut, perasaannya juga mulai membaik. Kegelisahan dalam hatinya juga muali lega.
Dalam keadaan yang kembali membaik tersebut, kemudian secara bersamaan nampak wajah-wajah orang yang ia kenal. Ia melihat wajah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan juga Zaid bin Haritsah.
Dalam mimpinya tersebut ia kemudian bertanya pada teman-temannya yang ia lihat:
“Sejak kapan kamu semua datang ke sini!”
Mereka lalu menjawab:
“Saat sekarang ini!”
Setelah kejadian tersebut wajah teman-temannya akhirnya hilang. Dan tak lama setelah itu ia pun terbangun dari tidurnya dengan membawa perasaan bingung atas kejadian yang dia alami dalam tidurnya.
Dalam hati, Saad bin Abi Waqqash ra. bertanya -tanya mengapa ketiga orang tersebut yang nampak dalam tidurnya? Kenpa bukan orang lain dari penduduk Makkah yang juga ia kenali? Dan mengapa juga mereka berkumpul? Apa tujuan dan sebabnya?
Ia kemudian berusah tidur lagi, namun ia tetap saja sulti tidur dan hanya telentang di atas ranjangnya.
Pagi hari tiba…
Akhirnya malam pun berlalu. Saad bin Abi Waqqash ra. lalu sarapan pagi bersam aibnya. Hanya saja, ada yang berbeda dengan dirinya. Waktu itu, ia hanya diam saja dan pada wajahnya tampak seperti orang yang sangat serius seakan-akan tengah memikirkan sesuatu.
Setelah itu, ia pun menjalankan aktifitasnya seperti biasa, yakni berangkat ke tokonya untuk berjualan dan bergaul dengan teman-temannya.
Tak lama setelah itu datanglah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. sambil mengucapkan salam:
Setelah Abu Bakar dipersilahkan duduk ia kemudian berkata, “Bahwasanya kedatangan saya kemari wahai Sa’ad adalah untuk urusan yang sangat penting!”
Sa’ad lau berkata, “Baiklah!”
Abu Bakar: “Apakah kamu mengenal Muhammad bin Abdullah?”
Sa’ad: “Ya, saya adalah pamannya sebagaimana engkau ketahui”.
Abu Bakar: “Apakah engkau mempunyai kecurigaan padanya?”
Sa’ad: “Tidak, demi Allah. Bahwasanya ia adalah sebaik-baik manusia dan yang paling mulia.”
Abu Bakar: “Sesungguhnya Allah swt. telah menurunkan wahyu kepadanya untuk menjadi seorang Nabi. Allah telah menurunkan kepadanya kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman untuk mengajak manusia meninggalkan penyembahan kepada berhala, untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa, membebaskan orang yang dianiyaya, serta menetapkan ajaran persamaan di antara manusai.”
Sa’ad : “Jika demikian, apakah ia kufur terhadap berhala Latta, Uzza dan Manat?”
Abu Bakar: “Mengapa tidak, berhala adalah hanya batu-batu yang tuli, tidak membahayakan dan juga tidak memberi kemanfaatan.”
Sa’ad pun terdiam sejenak lalu bertanya lagi : Siapakah orang yang telah berimana kepadanya?”
Abu Bakar: “Saya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.”
Mendengar jawaban sahabatnya, Sa’ad bin Abi Waqqash lalu teringat kembali dengan mimpinya semalam yang mana ketika itu ia melihat wajah ketiga sahabatnya setelah bumi bercahaya kembali setelah sebelumnya gelap gulita karena tak ada cahaya.
Dan tanpa pikir panjang, dalam kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ini ia lalu meminta kepada Abu Bakar untuk diantar bertemu dengan Nabi saw. Kebetulan, waktu itu Nabi sedang salat dan saat menunggunya Sa’ad mendengar Nabi melantungkan ayat-ayat yang membuat dadanya menjadi dingin, seakan ajaran Islam dengan mudah masuk ke dalam sanubarinya.
Akhirnya, setelah nabi salat dan disambut dengan penuh penghormatan, ia akhirnya menyatakan diri masuk Islam dan bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Rintangan keislaman Sa’ad bin Abi Waqqash ra. oleh Ibunya sendiri

Setelah menyatakan diri masuk Islam, Sa’ad selalu berjumpa dengan Nabi untuk mendengarkan ajrannya sehinga semakin lama hatinya pun semakin mantap terhadap Islam. I juga belajar bagaimana cara mengerjakan salat.
Pada suatu ketika, setelah pulang dari aktfitas rutinnya, ia melaksanakan salat secara sembunyi-sembunyi di rumahnya. Akhinya ibunya pun tau saat ia salat, bagaimana ia ruku dan sujud semua dilihat langsung oleh ibunya. Setelah ia salat, karena sebelumnya ia sama sekali tak menjawab ketika dipanggil, ibunya langsung bertanya tentang perbuatan yang baru ia lakukan tersebut.
Saad menjawab bahwa tadi ia melakukan salat kepada Allah swt., Tuhan semesta alam dan juga pencipta langit dan bumi.
Mendengar jawaban anaknya bukannya ia ikut beriman, malah ia berusaha membelokkannya agar kembali menyembah berhala.
Setelah ibu Sa’ad bin Abi Waqqash berusaha dengan berbagai cara menasehati anaknya agar kembali ke agama lamanya, namun tak juga berhasil, akhirnya ia bersumpah bahwa ia tidak akan makan hingga anaknya merubah pendiriannya.
Semenjak ibunya memutuskan untuk mogok makan, dalam hati Sa’ad berkecamuk berbagai pemikian. Jika ia menuruti ibunya maka ia akan murtad, tapi bila tidak, maka ibunya bisa meninggal. Tapi karena imannya yang sudah begitu kuat, akhirnya ia tetap pada pendiriannya, memeluk Islam hingga akhir hayat.
Di malam harinya ia kemudian mengajak lagi ibunya untuk makan bersama, tetapi ibu Sa’ad tetap menolak. Kejadian ini berulang hingga hari berikutnya hingga Sa’ad pun pergi bekerja seperti biasa.
Dan setelah sore hari tiba dan Sa’ad hendak pulang ke rumah, ia melihat ibnya menantinya di rumah dengan wajah berseri-seri. Ia berpikir bahwa ibunya telah merubah pendiriannya. Namun, saat hendak makan malam, Sa’ad kembali mengajak ibnya makan, tapi ibnya menolak bahwa ia tidak akan makan bersama hingga Sa’ad mengubah pendiriannya.
Sa’ad akhirnya mengucapkan kalimat yang sama-sekali tidak disangka oleh ibnya:
“Dengarlah oh ibuku! Demi Allah seandainya engkau mempunyai 1000 nyawa kemudian keluar satu per satu, maka saya tetap tidak akan meninggalkan agama ini.”
Ucapan terakhir dari kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ra. terhadap ibnya malam itu membuat ibunya kaget dan merasa putus asa. Sa’ad ternyata benar-benar teguh pendiriannya pada agama barunya itu.
Akhirnya Sa’ad makan sendiri. Dan setelah ia melihat ibunya merasa lapar ia lalu memintanya duduk disebelahnya untuk makan bersama.
Pagi harinya, Sa’ad lalu pergi untuk bergabung dalam majelis Nabi saw. bersama para sahabatnya. Dan sewaktu berada di majelis tersebut turunlah firman Allah swt.:
“Dan kami perintahkan pada manusia (berbuat baik) terhadap kedua ibu bapaknya, ibnya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun…(hingga akhir ayat 15)” (QS. Luqman 14-15)
Setelah mendengar Nabi saw. membacakan ayat di atas, maka Sa’ad merasa bahwa ayat tersebut turun mengenai dirinya dan ibnya. Ia pun akhirnya merasa tenang karena mengetahui apa yang ia lakukan adalah benar di mata Allah swt.

Pertumpahan darah pertama dalam Islam

Suatu ketika, setelah meminta izin kepada Nabi untuk pulang, di tengah jalan tiba-tiba ia dan sahabatnya dihadang oleh Abu Jahal dan golongannya. Lalu mereka diberhentikan dan ditanya.
“Bagaimana pendapatmu tentang Tuhan-Tuhan kami?”
Kelompok Sa’ad lalu berkata: “Tuhan-tuhanmu adalah batu yang tuli dan tidak dapat memberi manfaat serta tidak mampu menolong.”
Golongan Abu Jahal lantas membantah: “Bohong dan hinalah kamu.”
Kelompok Sa’ad: “Bahkan kamulah yang bohong dan hina.”
Akhirnya, perkelahian tak dapat dihindari. Kedua kelompok tersebut lalu saling menyerang. Kebetulan Sa’ad waktu itu memegang tulang dan dipukulkannya ke salah satu sahabat Abu Jahal sehinga ia terluka. Tak mau tinggal diam, Sa’ad juga akhirnya dibalas oleh kelompok Abu Jahal dan mengenai telinganya sehingga mengalirkan darah.
Dan karena kebetulan ada orang yang lewat waktu itu, akhirnya mereka dipisahkan dan selesailah pertarungan tersebut.
Setelah itu mereka kembali menghadap Nabi. Waktu itu luka-luka saat masih mengalirkan darah, lalu para sahabar membantu membersihkannya. Adapun Nabi Muhammad saw. belia membalut dengan tangannya sendiri dan bersabda, “Darahmu ini di jalan Allah, wahai Sa’ad!”
Dari kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ra. tersebut dengan golongan Abu Jahal, dikatakan sebagai awal terjadinya pertumpahan darah dalam Islam yang diakibatkan oleh musah Islam, yakni kaum kafir Quraisy.
Kisahnya dalam perang Badar dan Uhud
Pada perang badar, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. juga ikut ambil bagian. Ia menampakkan segala keahliannya dalam perang tersebut, yakni berkuda dan juga memanah. Banyak penutur sejarah yang mengungkapkan ketangkasan beliau dalam perang ini.
Setelah perang badar berakhir dan umat Islam menang dalam perang tersebut, akhirnya Sa’ad (yang saat perang menggunakna jubah berbulu) dan kafilah lainnya kembali ke Madinah. Saat pulang dan bertemu istrinya, ia kemudian meminta kepada istrinya agar menyimpan jubah tersebut sebagai tanda kemenangan pertama kaum muslimin atas kaum kafir Quraisy.
Adapun dalam perang Uhud, Sa’ad juga gigih bertempur menghalau musuh. Saat pasukan muslim berbalik menjadi sasaran anak panah kaum kafir, ia juga menjadi andalan Nabi untuk membalas serangan panah kaum kafir Quraisy. Padahal, sebelumnya tentara muslim sudah hampir menang, tapi karena pasukan pemanah melanggar perintah Nabi untuk tetap berada di atas bukit, akhirnya kemenangan pun berbalik arah.
Pada perang Uhud tersebut, karena serangan panah yang datang bertubi-tubi dan Nabi merasa bahwa hal tersebut dapat membahayakan kaum muslimin, maka Nabi berkata pada Sa’ad: “Kutebus dengan bapak dan ibuku, lepakan panah! Lepaskan panah! Wahai pemuda yang kuat! Ya Allah tepatkanlah anak panahnya dan kabulkan doanya. Demikian Nabi memberikan spirit pada Sa’ad. Sungguh Nabi belum pernah menyebut kedua orangtuanya selain kepada Sa’ad.
Dalam perang melawan tentara Persia di Irak, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. juga mendapat kesempatan untuk bergabung mejadi pasukan muslim waktu itu. Walau awalnya ia ditugaskan mengumpulkan zakat oleh khalifah di Hawazin, namun setelahnya ia pun mendapat kesempatan mulia tersebut.
Baca dulu : Kisah Abu Jahal
Ditugaskan oleh Umar sebagai Panglima Perang
Setelah panglima perang yang ditugaskan menaklukkan Persi gugur, yakni Abu Ubaid. Maka khalifah Umar bin Khattab ra. akhirnya mengangkat Sa’ad sebagai panglima perang barunya setelah sebelumnya diadakan rapat dengan para sahabat karena mereka menjuluki beliau sebagai singa yang menyembunyikan kukunya.
Dalam sejarah dan profil Sa’ad bin Abi Waqqash ra. banyak yang menuturkan wasiat Umar ra. kepada Sa’ad sesaat sebelum diutus untuk menjadi panglima. Adapun redaksinya:
“Wahai Sa’ad, janganlah engkau tertipu bila dikatakan paman Nabi dan sahabat Nabi. Karena Allah tidak menghapuskan kebajikan dengan kejahatan, tetapi menghapus kejahatan dengan kebajikan. Antara Allah dan hamba-Nya tidak ada hubungan kecuali dengan amal baik kepada-Nya. Manusia yang mulia dan yang rendah di hadapan Allah adalah sama dst…”
Setelah beliu melakukan persiapan untuk menuju medan perang, lantas Khalifah Umar ra. berwasiat lagi kepadanya:
“Sesungguhnya saya telah mengangkat dirimu menjadi panglima perang untuk Irak, maka peliharalah wasitku ini. Sebab, kamu akan menghadapi keberatan-keberatan yang mana tak akan selamat kecuali bagi yang melakukan kebenaran. Maka hendaklah engkau dan pasukanmu membiasakan melakukan kebaikan…”
Wasiat Umar ra. di atas sebenarnya ada sambungannya lagi, tapi karena terlalu panjang jadi kami potong.
Dengan menerima wasiat Umar ra. tersebut maka Sa’ad pun telah memahami bagaimana ia seharusnya bertindak sebagai seorang panglima perang. Ia tidak mau tertimpa bencana seperti yang dialami oleh Abu Ubaid karena tindakannya yang melampaui batas.
Sesampainya di Kadesia, ia pun melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi tentara Persia yang waktu itu berjumlah 100.000 pasukan.
Sebelum mulai perang, Sa’ad melakukan hal yang berbeda dengan Abu Ubaid dengan tidak langsung menyerang, tapi mengirimkan utusan terlebih dahulu untuk mengajak panglima perangnya, Rustam, untuk menerima Islam, atau membayar pajak, atau pilihan terakhir berperang. Namun, yang terjadi adalah mereka mendapat penghinaan dengan diberi sekarung tanah sebagai bentuk penghinaannya.
Sebelum perang dimulai, Sa’ad bin Abi Waqqash ra. melakukan inspeksi pada pasukannya, dan kebetulan waktu itu betis beliau sakit jadi tidak bisa ikut berperang.
Dalam salah satu pesannya pada pasukannya ia menyampaikan ayat 105 surah Al Anbiya :
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (kami tulis dalam) Lauhul Mahfudh, bahwasanya bumi ini dipusakai oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”
Selain itu, instruksi Sa’ad pada pasukannya juga disampaikan dalam bentuk takbir, yakni takbir pertama untuk bersiap-siap, hingga takbir keempat adalah mereka diperintahkan bertakbir juga dan mengucapkan “Laa haula wa la quwwata illaa billahil aliyyul ‘adhim.” Kemudian barulah mulai melakukan serangan kepada musuh.
Akhirnya perang pun dimulai. Walau sebagian pasukan Persia kocar-kacir, namun karena waktu telah sore, akhirnya perang dihentikan sementara.
Keesokan harinya perang pun dilanjutkan, namun karena Panglima Sa’ad merasa bahwa pasukan gajah lawan yang ditaruh di barisan paling depan menyulitkan pasukan muslim, ia pun kemudian memanggil ahli gajah untuk mengetahui kelemahan dari gajah, dan akhirnya diketahui bahwa bibir dan matanya sebagai kelemahannya.
Setelah paham, beliau lalu memerintahkan pasukannya untuk mendekati pasukan bergajah dari tentara Persi dan melakukan serangan pada titik lemahnya. Akhirnya, tak lama berselang gajah-gajah tersebut mengaung kesakitan dan berbalik arah menerobos pasukan Persia sendiri. Dalam peristiwa tersebut pihak musuh banyak yang meninggal karena terinjak-injak oleh gajah dan sebagiannya lagi bercerai-berai.
Pada malam hari perang masih terus berlangsung dan tanpa sengaja salah seorang tentara muslim, Hilal bin Al-Qamah, melihat seekor bagal (keturuan dari kuda dan keledai) yang melintas dengan membawa muatan yang kemudian ia serang. Dan sungguh mengagetkan, sang panglima perang Persia, Rustam, ternyata bersembunyi di bawahnya. Dan karena kaget ia langsung lari dan terjun ke sungai. Tapi karena berhasil ditangkap oleh Hilal, akhirnya ia pun dibunuh.
Setelah kematian Rustam, Hilal lalu berteriak dan menyampaikan pada pasukan tentara bahwa ia telah membunuh Rustam. Pasukan Persia yang mendengar akhirnya menyesal dan mundur sehingga pertempuran pun dimenangkan oleh umat Muslim.
Setelah berhasil dengan tugasnya, Sa’ad melanjutkan misinya ke Madain dan berhasil juga menaklukkannya sehingga ia mampu memasuki bangunan istanan Raja Kisra. Dan dari Madain ia pindah ke Kufah untuk jadi gubernur di sana.
Saat memegang jabatan di Kufah sebagai gubernur ia pernah dilaporkan kepada Khalifah Umar ra oleh orang yang suka mengadu domba bahwa ia berlaku tidak adil pada rakyat. Namun, tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan dan ia benar-benar bersih dari masalah seperti itu.
Tutup usia dan dimaqamkan
Setelah tugasnya di Kufas berakhir, ia pun kembali ke Madinah. Di Madinah ia tinggal di kampung halamannya, Aqiq. Dan disanalah ia menyendiri sambil menunggu ajalnya tiba.
Saat merasa ajalnya sudah dekat, ia kemudian berwasiat pada istrinya agar dikafani dengan jubah bulu yang disimpan dulu yang merupakan tanda kemenangan pada perang Badar.
Akhir cerita dari kisah Sa’ad bin Abi Waqqash ra. ini, akhirnya ia pun menjemput ajalnya dan dibawa ke Madinah. Semua istri Nabi menyalatinya. Selanjutnya, ia dimakamkan di Baqii, berdekatan dengan kuburan para mujahid yang syahid. Jadi tidak benar kalau maqam beliau di Cina karena artikel yang Anda baca ini dikutip dari buku Sepuluh Sahabat Nabi yang Dijamin Ahli Surga yang merupakan buku terbitan Arab yang ditulis oleh Muhammad Ali Al-Quthub, lalu diterjemahkan oleh orang Indonesia. Karena Sa’ad adalah satu dari 10 sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, maka mari berdoa semoga Allah semakin meninggikan derajatnya berkat perjuangannnya yang gigih. Amin!























































































Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More